Soal Alat Antikanker yang Fenonemal itu, Dulu ditolak di Indonesia! namunKini Menristek Berharap Keuntungannya Sebagian ke Indonesia dan sebagian ke Singapura !!!
Soal Alat Antikanker yang dulu ditolak di Indonesia, Kini Menristek Berharap Keuntungannya Sebagian Indonesia, sebagian Singapura
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, menerima keluh-kesah penemu Electro-capacitive cancer therapy (ECCT) untuk terapi kanker, Warsito Purwo Taruno. Dia menyebut Warsito merasa putus asa setelah klinik terapi antikankernya ditutup sementara oleh Kementerian Kesehatan.
“Sekarang yang jadi masalah, Pak Warsito risetnya butuh pembiayaan yang cukup tinggi, dia sudah PHK karyawaan sekitar 75 orang, jadi problem bagi Pak Warsito,” ujar Menteri kepada VIVA.co.id ketika ditemui di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, pada Selasa, 23 Februari 2016. seperti dilansir vivanews.co.id
Menurut Menteri, dalam jangka pendek, Warsito telah menekan kontrak dengan Singapura. Mengenai riset, pengembangan, maupun produksi edar untuk alat ECCT dan Electrical capacitance volume tomography (ECVT) untuk diagnosis kanker temuan Warsito ke seluruh dunia.
Namun, kata Nasir, saat ini yang menjadi sandungan adalah penetapan untuk label alat nantinya. “Apakah itu made in (buatan) Indonesia atau made in Singapore,” ujarnya.
Menurut cerita Warsito, Nasir mengatakan, Singapura ingin penetapan label adalah buatan Singapura, kendati produksi dilakukan di negara mereka.
Namun, menurut Nasir, label harus tetap buatan Indonesia, karena di Indonesia ada pengakuan teknologi ECCT dan ECVT temuan Warsito dan hak cipta ada di tangannya. “Nanti keuntungannya, sebagian Indonesia, sebagian Singapura,” katanya.
Awal bulan ini, Warsito telah menerima undangan pelatihan mengenai alat yang ia temukan ke Warsawa, Polandia. Selanjutnya, ilmu teknologi antikanker Warsito sudah ditunggu-tunggu di Kanada, Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Rusia, Dubai, Arab Saudi sampai India.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, menerima keluh-kesah penemu Electro-capacitive cancer therapy (ECCT) untuk terapi kanker, Warsito Purwo Taruno. Dia menyebut Warsito merasa putus asa setelah klinik terapi antikankernya ditutup sementara oleh Kementerian Kesehatan.
“Sekarang yang jadi masalah, Pak Warsito risetnya butuh pembiayaan yang cukup tinggi, dia sudah PHK karyawaan sekitar 75 orang, jadi problem bagi Pak Warsito,” ujar Menteri kepada VIVA.co.id ketika ditemui di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, pada Selasa, 23 Februari 2016. seperti dilansir vivanews.co.id
Menurut Menteri, dalam jangka pendek, Warsito telah menekan kontrak dengan Singapura. Mengenai riset, pengembangan, maupun produksi edar untuk alat ECCT dan Electrical capacitance volume tomography (ECVT) untuk diagnosis kanker temuan Warsito ke seluruh dunia.
Namun, kata Nasir, saat ini yang menjadi sandungan adalah penetapan untuk label alat nantinya. “Apakah itu made in (buatan) Indonesia atau made in Singapore,” ujarnya.
Menurut cerita Warsito, Nasir mengatakan, Singapura ingin penetapan label adalah buatan Singapura, kendati produksi dilakukan di negara mereka.
Namun, menurut Nasir, label harus tetap buatan Indonesia, karena di Indonesia ada pengakuan teknologi ECCT dan ECVT temuan Warsito dan hak cipta ada di tangannya. “Nanti keuntungannya, sebagian Indonesia, sebagian Singapura,” katanya.
Awal bulan ini, Warsito telah menerima undangan pelatihan mengenai alat yang ia temukan ke Warsawa, Polandia. Selanjutnya, ilmu teknologi antikanker Warsito sudah ditunggu-tunggu di Kanada, Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Rusia, Dubai, Arab Saudi sampai India.
Sumber : vivanews.com
Comments
Post a Comment